BERSIHKAN JIWAMU

Siapa pun yang memerhatikan gelagat manusia pada zaman ini, pasti akan mendapati wujudnya suatu “keanehan”. Budaya keinginan jua kegilaan hanya pada sifat lahiriyyah. Namun, pada masa yang sama dia amat memencilkan dirinya dari aspek batiniyyah. Benar… kebanyakan manusia sibuk dengan memperindahkan zahirnya sahaja, namun batinnya dibiar tanpa “topup” yang mencukupi.

Disamping itu kita juga melihat ramai yang amat ta’sub jua fanatic dengan majlis penyucian hati seperti majlis dzikir dan managemen kalbu. Namun pada hakikatnya mereka semua hanya terperangkap dengan jerangkap tasawuf yang akhirnya semakin mengecutkan hati.

Oleh yang demikian mari kita bersama kembali pada hakikat penyucian diri yang dianjurkan oleh ahlu sunnah wal jamaah.


KENAPA PERLU PADA TAZKIYATUN NAFS?


1. Keshalihan jua ketaqwaan seseorang bergantung pada penyucian jiwanya. Firman Allah:

“ sungguh beruntunglah mereka yang menyucikan jiwanya, jua merugilah mereka yang mengotorinya” (surah As-Syams)

2. Tazkiyatun nufus merupakan salah satu daripada tugas para nabi.oleh itu ketika berdakwah kepada Fira’un, nabi Musa berkata. Firman Allah:

“adakah keinginan bagimu untuk menyucikan dirimu( dari kesesatan). Dan kamu akan kupimpin kepada Rabbmu, supaya kalian takut kepadaNya?” (surah an-nazi’at)

3. Syarat untuk mendapat darjat yang tinggi dan kenikmatan yang abadi. Firman allah:

“Dan barangsiapa datang kepada Rabbnya dalam keadaan beriman, lagi
sungguh-sungguh telah beramal shalih, maka mereka itulah orang-
orang yang memperoleh ternpat-tempat yang tinggi (mulia). (yaitu)
syurga 'Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal
di dalamnya. Dan itu adalah balasan bagi orang yang bersih (dari
kekafiran dan kemaksiatan).” (Thaha: 75 - 76).

4. Merupakan hajat yang diminta oleh Rasulullah. Dalam doanya:

“Ya Allah berikanlah ketaqwaan kepada diriku ini dan sucikanlah ia,
Engkau adalah sebaik-baik Dzat yang mensucikannya, Engkau adalah
Penolong dan Tuannya. “(HR Muslim. 2722).

Makna Tazkiyatun Nufus

Tazkiyah menurut bahasa berarti suci, berkembang dan bertambah. Sedangkan yang
dimaksud disini ialah memperbaiki jiwa dan mensucikannya melalui jalan ilmu
yang bermanfaat dan amal shalih, mengerjakan segala yang diperintah dan
meninggalkan segala yang dilarang.

Nabi telah menjelaskan makna tazkiyan nufus dengan sabdanya, meyakini bahwa Allah selalu bersamanya dimanapun ia berada. Hadits tersebut lengkapnya sebagai berikut:

"Tiga perkara, barangsiapa mengerjakannya, maka ia pasti merasakan lazatnya iman. iaitu (pertama), seseorang yang menyembah Allah semata, bahwa tidak ada sembahan yang hak, kecuali hanya Dia. (Kedua), ia membayarkan zakat mal-nya setiap tahun dengan jiwa yang rela, ia tidak membayarkan (haiwan) yang sudah tua, tidak yang kurus, dan tidak pula yang sakit, tetapi (ia membayarnya) dari pertengahan harta kalian, karena Allah tidak meminta kepadamu harta yang terbaik dan tidak memerintahkan dari harta yang jelek, dan, (Ketiga), ia mensucikan dirinya. Maka seseorang
bertanya, "Apakah tazkiyatun nufus itu?" Beliau menjawab, "la mengetahui (meyakini), bahwa Allah selalu bersamanya dimanapun ia berada."

Wasilah Tazkiyatun Nufus

Tazkiyatun nufus sesuai manhaj nabawi, ianya dapat dicapai dengan berbagai macam ibadah
kepada Allah. Yang terpenting diantaranya ialah:

1. Tauhid

Merealisasikan tauhid merupakan Jalan terbesar dan terpenting untuk tazkiyatun nufus. Allah berfirman,

Katakanlah: "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Rabb kamu adalah RabbYang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menujukepadaNya, dan rnohonlah ampun kepadaNya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan(Nya), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat. (QS Fushshilat: 6 - 7).

2. Shalat

Rasulullah bersabda,

"Beritahukanlah kepadaku. seandainya ada sungai di depan pintu salah
seorang kamu. lalu ia mandi di dalamnya setiap hari lima kali, apa
pendapatmu, apakah ia masih menyisakan kotoran padanya?" Mereka
menjawab, "Dia tentu tidak menyisakan sedikitpun dari kotorannya.'
Beliau bersabda, "Demikian itulah perumpamaan shalat lima waktu.
Dengannya Allah menghapus dosa-dosa."

3. Bersedekah

Allah berfirman,

Ambillah zakat dari sebahagian harta mereka. Dengan zakat itu, kamu
membersihkan dan mensucikan mereka. dan berdo'alah untuk
mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa
bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(QS At Taubah:103).

4. Meninggalkan semua yang diharamkan.

Dalam masalah ini, Ibn Taimiyah berkata,

"Jiwa dan amal tidak akan suci, hingga dihindarkan dari hal-hal yang dapat
menentangnya. Dan seseorang itu tidak bersalah, kecuail dengan meninggalkan yang
buruk; karena ia mengotori jiwa dan menggelapkannya.

Ibn Qutaibah berkata,

Firman Allah _Wa qad khaaba man dassaahaa_ , artinya orang yang mengotori
hatinya dengan kefasikan-kefasikan maksiat, orang yang fajir itu telah
menghancurkan jiwanya, dan menenggelamkannya. Sedangkan pelaku perbuatan
ma'ruf, ia telah mengangkat dan meninggikan jiwanya," (Majmu' Fatawa
10/629.10/188).


5. Muhasabatun nufus (Introspeksi diri)

Kesucian dan kebersihan jiwa tergantung pada muhasabahnya. Al Hasan Al Bashri berkata,

Sesungguhnya, orang mukmin itu -demi Allah- kamu tidak menyak-
sikannya, kecuali sedang mengawasi dirinya sendiri. Apa yang saya
maksudkan dengan ucapan ini? Apa yang saya inginkan dengan makan
ini? Apa yang saya inginkan dengan masuk ke sini atau keluar dari sini?
Apa urusan saya dengan ini? Demi Allah, saya tidak kembali kesini?
atau sejenis ucapan ini..." Maka dengan muhasabah seseorang itu bisa
mengetahui aib dan kekurangannya, hingga ia mampu berusaha dalam
memperbaikinya.



Muhasabah ada dua jenis:

a) Muhasabah sebelum beramal.

Yaitu berpikir dan merenung ketika ada kehendak dan semangat; dan tidak segera beramal, kecuali setelah menjadi jelas keutamaannya dibanding dengan meninggalkannya.

b) Muhasabah setelah selesai beramal. Ini meliputi,

i. Muhasabah mengenai ketaatan yang belum dikerjakan secara sempurna.
ii. Muhasabah mengenai perbuatan yang sebaiknya ditinggalkan (tidak dikerjakan)
iii. Muhasabah mengenai perkara mubah / biasa, mengapa mengerjakannya? Apakah hal itu dimaksudkan untuk Allah, kehidupan akhirat, ataukah dunia?


Akhir kalam, moga apa yang dicoretkan pada makalah saya pada kali ini dapat kita amalkan dan budayakan dalam kehidupan seharian kita sebagai seorang muslim yang mengaku berpegang pada Ahlu sunnah wal jamaah. Sekian.

0 comments: